TfC0GSY7TpM8TUM0TpOlBSr8Td==

Breaking News:

Rights-Washing di Negeri Tambang: Saat Korporasi Diganjar, Masyarakat Adat Masih Menunggu Keadilan


Sumbawa Besar, Laskarmerdeka.com

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Sumbawa, Febriyan Anindita, mengkritik keras pemberian Penghargaan PRISMA 2025 oleh Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM RI) kepada PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PT AMNT).

Menurutnya, penghargaan yang diberikan pada 19 September 2025 itu merupakan bentuk rights-washing — pencitraan korporasi dengan simbol kepatuhan HAM di tengah proses pemulihan masyarakat adat yang belum selesai.

“Pemerintah terlalu cepat memuji perusahaan, padahal proses pemulihan belum berjalan. Ini langkah yang tidak etis dan menyesatkan publik,” ujar Febriyan kepada awak media, Selasa (07/10/2025).

Proses pemulihan hak masyarakat adat Cek Bocek/Selesek Reen Sury (Suku Berco) saat ini masih berada pada tahap awal.

Sebagai tindak lanjut dari hasil Mediasi Komnas HAM RI tahun 2023, Pemerintah Daerah Sumbawa pada September 2025 resmi menunjuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk menjalankan mandat mediasi tersebut.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dalam Hasil Mediasi Komnas HAM RI, tertulis:
“Bahwa Pemerintah Kabupaten Sumbawa bersama DPRD Kabupaten Sumbawa bersepakat untuk melakukan kajian atas masyarakat adat dengan melibatkan akademisi, lembaga yang independen dan netral sebagai bagian dari upaya penyelesaian permasalahan masyarakat adat di Kabupaten Sumbawa," ujarnya.

Dokumen Hasil Mediasi Komnas HAM RI, 18 Juli 2023.  Penunjukan BRIN oleh Pemda Sumbawa merupakan langkah pelaksanaan dari kesepakatan tersebut, dengan fokus awal pada penelitian dan verifikasi keberadaan masyarakat adat.

“Langkah ini baru tahap awal, belum sampai pada pemulihan hak. Tapi di tengah proses itu, pemerintah pusat justru memberikan penghargaan HAM kepada pihak yang masih dalam mediasi. Ini ironi kebijakan HAM kita,” kata Febriyan.

Menurut AMANDA Sumbawa, belum ada angkah restitusi sosial dan budaya.
Masyarakat adat Cek Bocek/Selesek Reen Sury masih menunggu kejelasan hasil penelitian BRIN untuk menjadi dasar pengakuan hukum.

“Di lapangan, masyarakat masih berhadapan dengan ketidakpastian. Tapi di panggung nasional, perusahaan sudah diganjar piagam HAM,” tukas Febriyan.

Program PRISMA (Penilaian Risiko Bisnis dan HAM) dikritik karena berbasis self-assessment dari perusahaan tanpa audit independen.

Ditegaskan Febriyan, mekanisme ini tidak mampu mengukur realitas lapangan dan hanya menonjolkan kepatuhan administratif.

“PRISMA menilai kebijakan, bukan dampak. Perusahaan bisa tampak patuh di atas kertas tapi masih menimbulkan luka di lapangan,” pungkasnya.

Selain proses nasional, Copper Mark, lembaga sertifikasi global untuk industri tembaga, masih melakukan investigasi lapangan (fact-finding) terhadap PT AMNT.
Investigasi ini dipimpin oleh Prof. Humberto Cantú Rivera untuk menilai kepatuhan terhadap prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dan perlindungan situs budaya masyarakat adat.

“Ketika di luar negeri perusahaan sedang diperiksa, dan di dalam negeri baru diteliti BRIN, memberi penghargaan HAM adalah bentuk rights-washing yang terang benderang,” tandas Febriyan.

AMANDA Sumbawa mendesak KemenHAM RI untuk meninjau ulang penghargaan PRISMA kepada PT AMNT dan membuka metodologi penilaiannya kepada publik.

“Penghargaan HAM seharusnya menjadi bukti pemulihan korban, bukan alat pencitraan bagi pelaku,” tegas Febriyan.(AM01)

Daftar Isi

0Komentar

Formulir
Tautan berhasil disalin