Sumbawa Besar, Laskarmerdeka.com –
Meskipun masih berstatus Izin Usaha Pertambangan (IUP) Produksi, operasi PT Sumbawa Juta Raya (SJR) tengah menjadi sorotan serius. Pemerintah pusat, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menghentikan sementara sebagian aktivitas perusahaan karena belum memenuhi kewajiban jaminan reklamasi dan dana pasca-tambang. Langkah ini termasuk bagian dari evaluasi terhadap 190 perusahaan tambang di seluruh Indonesia.
Bagi masyarakat Sumbawa, kegiatan tambang yang belum direklamasi menimbulkan risiko nyata bagi lingkungan. Tanah terganggu, air terkontaminasi, dan kelestarian lingkungan menjadi perhatian warga.
“Ini bukan sekadar soal izin yang dilanggar. Kegagalan reklamasi berarti menyerahkan beban lingkungan kepada masyarakat Sumbawa,” kata Febriyan Anindita, Direktur LBH Keadilan Samawa Rea. Pernyataan ini menegaskan bahwa status IUP Produksi tidak serta-merta berarti kewajiban lingkungan perusahaan telah terpenuhi.
Selain persoalan reklamasi, hilirisasi mineral di Kabupaten Sumbawa masih menunjukkan ketimpangan. Banyak mineral lokal diproses secara eksklusif oleh perusahaan besar, sementara masyarakat lokal hampir tidak merasakan manfaat ekonomi nyata.
“Kegagalan hilirisasi membuat keuntungan tambang dinikmati perusahaan, sedangkan warga tetap menanggung risiko lingkungan,” ujar Febriyan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa hilirisasi mineral selama ini lebih menguntungkan investor dibandingkan masyarakat lokal, padahal Sumbawa memiliki potensi untuk menciptakan lapangan kerja dan pendapatan tambahan melalui pengolahan lokal.
Syamsu Ardiansyah, tokoh masyarakat Sumbawa, menekankan bahwa PT SJR harus bertanggung jawab secara nyata:
“Tambang bukan sekadar bisnis. Harus ada kepastian sosial dan lingkungan bagi warga. Dana pasca-tambang harus digunakan untuk reklamasi dan kesejahteraan masyarakat, bukan tersimpan di kertas.”
Menurut Ardiansyah, pengawasan pemerintah daerah menjadi kunci agar perusahaan memenuhi kewajibannya, sekaligus memastikan hilirisasi mineral memberi manfaat nyata bagi masyarakat lokal.
Isu Environmental, Social, and Governance (ESG) sering dicantumkan dalam laporan tahunan perusahaan, tetapi praktik nyata di lapangan masih jauh dari nilai ESG.
“Kalau dana pasca-tambang saja tidak dipenuhi, bicara ESG hanya menipu publik dan investor,” tegas Febriyan.
Penghentian sementara aktivitas SJR seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah daerah dan perusahaan bahwa pengawasan reklamasi dan dana pasca-tambang tidak bisa ditunda.
Kasus SJR menjadi momentum bagi Pemda Sumbawa untuk bertindak tegas. Pengawasan reklamasi, pengelolaan dana pasca-tambang, dan strategi hilirisasi mineral yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat lokal menjadi langkah penting agar pertambangan tidak hanya menguntungkan perusahaan semata.
“Pemda harus memastikan perusahaan patuh hukum dan reklamasi berjalan. Ini saatnya menunjukkan pemerintah berpihak pada warga, bukan hanya izin tambang,” ujar Ardiansyah.
Bagi masyarakat Sumbawa, penghentian sementara aktivitas PT SJR adalah peluang untuk menegakkan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan, sekaligus mendorong hilirisasi mineral yang memberi dampak positif bagi warga.(AM01)
0Komentar