TfC0GSY7TpM8TUM0TpOlBSr8Td==

Breaking News:

Babe Amin "Pilih Dulu, Lupa Kemudian"


MATARAM, Laskarmerdeka.com -
Ditengah hiruk pikuk euforia Konferensi Provinsi PWI NTB yang baru saja berlalu, kita menyaksikan peristiwa yang menarik tapi menyisakan tanda tanya. Ketua PWI terpilih disambut dengan antusias. Ucapan selamat mengalir dari berbagai penjuru. Media sosial ramai. Grup-grup WA penuh ucapan dan stiker tangan mengepal.

Namun satu hal yang luput dari sorotan: tidak ada yang mengucapkan selamat kepada Ketua DKD PWI yang juga terpilih di forum yang sama. Padahal sama-sama hasil pemilihan. Sama-sama melalui mekanisme organisasi yang sah. Sama-sama membawa tanggung jawab besar.

Apakah karena DKD tidak mengatur wartawan lapangan?
Atau karena DKD tidak memegang kendali media?
Atau justru karena DKD adalah satu-satunya organ yang bisa menegur Ketua PWI itu sendiri?


Saya tidak sedang mengajukan protes. Saya hanya bertanya—karena mungkin banyak juga yang bertanya dalam hati tapi tidak sempat menuliskannya.


Ketua PWI dan Ketua DKD ibarat dua sisi mata uang. Yang satu menggerakkan roda organisasi. Yang satu menjaga relnya agar tak keluar jalur. Yang satu tampil di depan, bicara soal program dan jaringan. Yang satu bergerak tenang, bicara soal etika dan kehormatan profesi.

Jika Ketua PWI adalah nakhoda kapal, maka DKD adalah kompas yang menunjukkan arah.
Tapi hari ini, kompas itu seperti disimpan di laci. Dibiarkan berdebu. Tak dianggap penting.


Saya khawatir, ini bukan hanya soal siapa yang diucapkan selamat dan siapa yang dilupakan. Ini lebih dalam dari itu. Ini soal bagaimana cara kita memperlakukan nilai-nilai organisasi. Bagaimana kita membedakan popularitas dan integritas. Bagaimana kita terkadang terjebak dalam logika kekuasaan, bukan dalam prinsip kebersamaan.


DKD itu bukan jabatan hadiah. Ia bukan tempelan. Ia bukan tempat parkir bagi senior yang tak lagi aktif. DKD adalah pagar moral. Ia penting justru ketika organisasi mulai bising. Ia dibutuhkan justru ketika kepemimpinan mulai terseret arus transaksional. Ia harus ada agar kita tak kehilangan arah.

Tapi, mungkin kita memang belum siap dengan pagar.

Karena pagar tidak bisa diajak kompromi. Ia akan tetap berdiri tegak meski semua ingin lewat. Ia akan tetap mengingatkan, meski semua ingin melaju.


Jadi ucapan selamat itu bukan soal simbol. Ia adalah bentuk pengakuan. Bahwa yang dipilih lewat forum demokratis pantas dihormati. Bukan karena siapa orangnya, tapi karena itulah cara kita menjaga marwah organisasi.


Dan jika kita hanya memilih-milih siapa yang layak dihargai setelah terpilih, maka jangan-jangan yang sesungguhnya belum layak adalah kita sendiri.(*Aminuddin Pembina GJI NTB)

Daftar Isi

0Komentar

Formulir
Tautan berhasil disalin